Benturan Budaya antara Indonesia-Malaysia




Satu lagi Indonesia-Malaysia, pemerintah Malaysia dengan percaya diri mengklaim tari Reog Ponorogo dengan nama tari Barongan sebagai tarian nasional mereka, belum lama rasanya mereka menyentil bangsa Indonesia dengan pengklaiman lagu Rasa Sayange dan sekarang sudah ada isu baru lagi, sampai kapan mereka akan terus melakukan pengklaiman terhadap aset-aset kebudayaan nasional kita? Bagi saya sederhana saja jawabannya, jawabannya masih tetap terletak pada integritas bangsa kita, sudah seberapa jauh kita peduli terhadap aset-aset budaya kita? Sudah seberapa jauh kita peduli pada nasib saudara-saudara kita di seluruh Indonesia (ingat kata Indonesia bermakna jajaran pulau-pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, bukan hanya Jakarta!), hemat saya letak permasalahan pengklaiman-pengklaiman kultural (dan juga material, ingat kasus Sipadan dan Ligitan!) yang dilakukan oleh negeri jiran Malaysia itu ada pada masalah integritas kebangsaan kita, nasionalisme kita. Saya rasa dalam beberapa hal kita patut “berterima kasih” pada Malaysia yang telah mencubit kita dengan insiden-insiden kultural belakangan ini, insiden-insiden itu telah mengingatkan kepada kita untuk ngeh terhadap aset-aset budaya yang kita miliki, kita mesti ngeh kalau yang namanya aset itu lebih dari sekedar materi. Lalu setelah insiden-insiden apakah kita akan “tertidur” lagi? Dan abaladas (bangun seketika) bangun ketika dicubit lagi? Menunggu Malaysia mengklaim seluruh aset budaya Nusantara sebagai bagian dari budaya mereka? Tidak! Budaya memang butuh perhatian yang lebih dan secara kontinyu, karena dari situlah karakter sebuah bangsa akan terbentuk. Dan budaya penuh kompleksitas, karena ia adalah hasil cipta karsa manusia, dan seiring perkembangan zaman budaya juga penuh fleksibilitas, ia bisa menjadi milik siapa saja, entah itu sang pencipta budaya atau si pemelihara budaya. Okelah untuk menegangkan urat syaraf untuk sesaat it’s ok untuk beradu argumen (bukan beradu militer!) dengan orang-orang dan pemerintah Malaysia, tapi yang perlu digaris bawahi adu argumen itu harus hanya sesaat, kenapa sesaat? Karena jika kita bersungguh-sungguh berintegritas, yakinlah mereka juga akan berpikir ribuan kali untuk mengklaim aset-aset nasional kita. Oke sampai di sini saja ya makian-makian terhadap negeri tetangga itu mari bangkit bukan dengan memisuh. Nasionalisme yang kita miliki bukan nasionalisme memisuh dan perang kan? Nasionalisme kita akan mencerahkan bangsa kita, dan juga bangsa-bangsa di yang ada di dekat kita, saya sangat tersentuh dengan kata-kata bijak dari Gandhi tentang India: “India will arise but not among the ruin of other nations” (India akan bangkit tapi tidak di antara reruntuhan puing bangsa lain), menurut saya, begitu juga Indonesia. Sebuah sesi yang bernama Ngopi Yuk (difasilitasi oleh Gerakan Positif Indonesia) telah menginspirasi tulisan ini. Untuk seluruh teman-teman di Gerakan Positif Indonesia , saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. You're rock guys! English version can be found here.

Komentar

MamaKuat mengatakan…
Mmmm...jadi minder rasanya bertamu ke Jurnal Pak Wazeen. Begitu dalam, arif, dan sangat lugas dalam menyampaikan segala unek-unek yang ada di kepala.

Keep writing, Pak! Dan saya akan setia bertandang ke sini.

Terima kasih sudah mampir sebelumnya.
may-@ mengatakan…
Saya tertarik dengan tema benturan budaya. Saya ingin tahu lebih dalam tentang bedanya benturan budaya dengan perang budaya? Lalu bagaimana proses psikologisnya pada individu ketika terjadi perbedaan budaya yang selama ini diterima dengan budaya yang baru di lingkungan yang baru? Mohon penjelsannya. Tx B4